Prinsip adalah nilai-nilai keadilan dan makna kebenaran yang harus menjadi dasar dalam setiap tindakan. Prinsip palsu, yang tidak didasarkan pada nilai-nilai tersebut, hanya terlihat sombong dan selalu berubah-ubah. Yang lebih mengkhawatirkan, prinsip palsu dapat menghasilkan kezaliman atau kerusakan yang besar. Hal ini dipahami dengan baik oleh orang-orang biasa seperti pakcik-pakcik di warung kopi di Pekan Parit Jawa, Muar.
Salah satu contoh prinsip palsu adalah “prinsip ke laut”, yang salah dan keliru banyak dicatat dalam sejarah dunia. Adolf Hitler di Jerman, misalnya, berjuang untuk apa yang disebut “grundsätzlich”, yang berarti “prinsip”-meskipun Nazisme tidak memiliki dasar keadilan dan kebenaran apapun. Nazisme hanyalah kekejaman yang menggunakan agama, bangsa, dan negara sebagai alasan. Baik dalam Islam maupun Kristen, tidak ada prinsip seperti Nazi itu, meskipun sejarah orang Yahudi dikutuk dalam Al-Quran atau Alkitab. Pembersihan etnis seperti yang dilakukan oleh Hitler hanyalah “prinsip” dari nafsu Hitler sendiri yang bermimpi menjadi pemimpin besar; bukan didasarkan pada pemahaman agama atau budaya yang suci.
Kebohongan prinsip juga terlihat ketika pasukan Sekutu mendekati Führerbunker, di mana Hitler akhirnya bunuh diri. Namun, sebelum bunuh diri, Hitler sempat menikahi kekasihnya, Eva Braun-meskipun sepanjang hidupnya, Hitler hidup sendirian dan tidak menikah kecuali memiliki seorang selir. Hitler yang berpura-pura menjadi “pejuang” juga memiliki kehidupan yang tidak terpengaruh oleh kebaikan agama atau adat budaya Eropa. Ia adalah sosok yang aneh.
Setelah upacara pernikahan, ketika pasukan Jerman mulai mengepung, Hitler membunuh istrinya. Kemudian dia menembak dirinya sendiri di leher. Namun, Hitler telah memberikan wasiat bahawa jasadnya harus dibakar. Dia tidak ingin jasadnya disentuh oleh siapapun. Ia sebenarnya tidak menerima kekalahan!
Oleh kerana itu, apa yang selama ini dianggap sebagai “grundsätzlich” sebenarnya hanyalah super ego semata. Dalam pandangan orang-orang di desa Sungai Balang Darat, Muar, itu disebut sebagai “bodoh sombong tahap dewa.” Prinsip palsu, super ego, atau bodoh sombong seperti itu menunjukkan seseorang yang tidak memahami nilai keadilan dan makna kebenaran.
Kisah “prinsip yang asalkan prinsip” juga dapat ditemukan dalam banyak sejarah bangsa-bangsa lain-jika seseorang yang berbicara tentang prinsip selalu ingin memahami hubungannya dengan kemanusiaan secara universal. Seorang pemuda Muslim, khususnya, perlu mengurangi terlalu banyak berkutat di TikTok, sambil menyadari bahawa “berprinsip” bukanlah alasan untuk menyakiti orang lain, menindas rakyat, atau menghancurkan peradaban bangsa.
Contoh lain terjadi di Cuba ketika Fidel Castro berjuang melawan imperialisme Amerika. Awalnya, dia terlihat gigih berjuang demi rakyat terjajah. Bersama Che Guevara, mereka meluncurkan peranang gerilya dari pegunungan dan hutan lebat-tidak hanya sekadar berlomba-lomba dalam pengundian beberapa kursi.
Namun, setelah meraih kemenangan, Castro mulai keras dan menggunakan kedudukan Amerika sebagai “prinsip” untuk menguasai demokrasi dan menekan rakyat. Selama puluhan tahun, sistem sosialisme-Leninis dipaksakan. Dan sejak saat itu, kebebasan mati suri, padahal pada awal perjuangannya, Castro ingin membebaskan rakyat dari penindasan penjajah.
Hidup di