ULASAN | Dalam sejarah Islam, terdapat gejala kafir mengkafir terhadap saudara seagama yang muncul sejak zaman sahabat. Kumpulan pertama yang melakukan pengkufuran terhadap golongan yang berbeza pandangan adalah Khawarij. Gejala ini terus berlanjut hingga saat ini.
Permasalahan semakin kompleks ketika pembahasan tentang kafir, munafik, fasik, dan sebagainya diukur dalam konteks politik, bukan dalam perspektif akidah yang sahih. Fenomena ini semakin merajalela dengan perkembangan media sosial, di mana orang awam yang kebanyakan tidak memiliki keahlian khusus dalam bidang ini ikut serta dalam pembahasan dengan kecenderungan pandangan politik tertentu.
Terkait dengan pengkufuran ini, faktor utama terjadinya adalah salah paham terhadap maksud nas (teks) dalam Al-Quran dan hadis. Dalam Islam, selain nas sebagai sumber ajaran agama, metode dalam memahami nas juga sangat penting untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan oleh Allah dan Nabi Muhammad.
Bagaimana seseorang dapat dikatakan salah dalam memahami nas? Pertama, pemahaman ini didasarkan pada kesimpulan individu tanpa mengacu pada metodologi yang tepat seperti yang diajarkan oleh para ulama.
Kedua, istilah-istilah seperti iman, kufur, syirik, nifaq, dan jahiliyyah yang terdapat dalam nas sering ditafsirkan secara harfiah dan digunakan secara umum dalam berbagai konteks dan situasi. Padahal, setiap istilah yang digunakan dalam nas memiliki makna dan tujuannya masing-masing.
Sebagai contoh, penggunaan istilah “iman” dalam Al-Quran dan hadis digunakan untuk merujuk pada iman yang sempurna, bukan hanya sekadar keimanan semata. Hal ini kerana jika suatu nas merujuk hanya pada keimanan semata, maka orang yang disebut dalam nas tersebut tidak memiliki iman dan dianggap kafir, padahal hal ini tidaklah demikian.
Dalam surah al-Anfal ayat 2, Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang hati mereka gemetar ketika disebut nama Allah, dan ketika dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal.”
Makna dari “orang yang beriman” dalam ayat di atas adalah orang yang memiliki iman yang sempurna. Hal ini tidak berarti jika seseorang tidak gemetar hatinya atau tidak bertawakkal, maka dia dianggap kafir kerana tidak beriman.
Makna yang sama dapat ditemukan dalam firman Allah dalam surah al-Mu’minun ayat 1-10. Beberapa ayat tersebut berarti: “Berbahagialah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya dan menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna.”
Ciri-ciri iman dalam ayat di atas mengacu pada orang yang memiliki iman yang sempurna, antara lain adalah khusyuk dalam shalat dan menjauhi kelakuan yang mengganggu. Ini tidak berarti bahawa mereka yang tidak khusyuk dalam shalat dianggap kafir dan tidak beriman.
Hal yang sama dapat ditemukan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, terutama dalam hadis tentang cabang-cabang iman.
Sebagai contoh, dalam hadis disebutkan: “Seseorang dari kalian tidak dikatakan beriman hingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.” Juga dalam hadis lain, “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.”
Selain itu, Nabi juga bersabda: “Dia tidak beriman kepadaku. Yaitu orang yang tidur dengan perut kenyang sedangkan tetangganya kelaparan, padahal dia mengetahuinya.”
Dalam hadis-hadis ini, tidak ada pemungkiran terhadap keimanan pelakunya. Apa yang dimaksud dengan penyebutan “tidak beriman” adalah tidak adanya kesempurnaan iman bagi seseorang yang melakukan dosa besar. Hal ini juga tidak membuat seseorang yang melakukan dosa besar dianggap kafir dan keluar dari agama. Seperti sabda Nabi: “Seorang yang berzina tidak akan berzina jika dia dalam keadaan beriman. Seorang pemabuk tidak akan meminum minuman keras jika dia dalam keadaan beriman…”
Penyebutan “tidak beriman” ini mengindikasikan ketiadaan kesempurnaan iman bagi seseorang yang melakukan dosa besar.
Mengenai hal ini, hukuman yang diberlakukan terhadap pelaku zina dan pemabuk adalah hukuman had, bukan hukuman murtad. Oleh kerana itu, Ahli Sunnah Wal Jamaah dengan tegas berpendapat bahawa perbuatan maksiat dan dosa besar tidak akan mencabut iman seseorang.
Sementara itu, penggunaan istilah “kufur” perlu dianalisis berdasarkan konteks ayat. Ada kufur yang secara langsung mengacu pada pengkufuran terhadap Allah, yang disebut kafir akbar. Dalam Al-Quran, pengkufuran dalam kategori ini dapat dipahami dalam dua bentuk.
Pertama, kufur asal seperti pengkufuran kelompok atheis yang menolak keberadaan Allah, atau mereka yang mengingkari kenabian Nabi Muhammad. Seperti yang dinyatakan oleh Allah dalam surah Al-Nisa’ ayat 136: “Dan barangsiapa yang kafir ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya…” Kedua, pengkufuran berikutnya adalah kufur mendatang yang mengakibatkan murtad.